Wednesday, October 19, 2011
Candi Kidal
Candi Kidal adalah salah satu candi warisan dari kerajaan Singasari. Candi ini dibangun sebagai bentuk penghormatan atas jasa besar Anusapati, Raja kedua dari Singhasari, yang memerintah selama 20 tahun (1227 - 1248). Kematian Anusapati dibunuh oleh Panji Tohjaya sebagai bagian dari perebutan kekuasaan Singhasari, juga diyakini sebagai bagian dari kutukan Mpu Gandring.
Candi Kidal secara arsitektur, kental dengan budaya Jawa Timuran, telah mengalami pemugaran pada tahun 1990. Candi kidal juga memuat cerita Garudeya, cerita mitologi Hindu, yang berisi pesan moral pembebasan dari perbudakan.
Lokasi
Terletak di desa Rejokidal, kecamatan Tumpang, sekitar 20 km sebelah timur kota Malang - Jawa Timur, candi Kidal dibangun pada 1248 M, bertepatan dengan berakhirnya rangkaian upacara pemakaman yang disebut Cradha (tahun ke-12) untuk menghormat raja Anusapati yang telah meninggal. Setelah selesai pemugaran kembali pada dekade 1990-an, candi ini sekarang berdiri dengan tegak dan kokoh serta menampakkan keindahannya. Jalan menuju ke Candi Kidal sudah bagus setelah beberapa tahun rusak berat. Di sekitar candi banyak terdapat pohon-pohon besar dan rindang, taman candi juga tertata dengan baik, ditambah lingkungan yang bernuansa pedesaan menambah suasana asri bila berkunjung kesana.
Dari daftar buku pengunjung yang ada nampak bahwa Candi Kidal tidak sepopuler “teman”-nya candi Singosari, Jago, atau Jawi. Ini diduga karena Candi Kidal terletak jauh di pedesaan, tidak banyak diulas oleh pakar sejarah, dan jarang ditulis pada buku-buku panduan pariwisata.
Keistimewaan Candi Kidal
Namun demikian candi Kidal sesungguhnya memiliki beberapa kelebihan menarik dibanding dengan candi-candi lainnya tersebut. Candi Kidal terbuat dari batu andesit dan berdimensi geometris vertikal. Kaki candi nampak agak tinggi dengan tangga masuk keatas kecil-kecil seolah-olah bukan tangga masuk sesungguhnya. Badan candi lebih kecil dibandingkan luas kaki serta atap candi sehingga memberi kesan ramping. Pada kaki dan tubuh candi terdapat hiasan medallion serta sabuk melingkar menghiasi badan candi. Atap candi terdiri atas 3 tingkat yang semakin keatas semakin kecil dengan bagian paling atas mempunyai permukaan cukup luas tanpa hiasan atap seperti ratna (ciri khas candi Hindu) atau stupa (ciri khas candi Budha). Masing-masing tingkat disisakan ruang agak luas dan diberi hiasan. Konon tiap pojok tingkatan atap tersebut dulu disungging dengan berlian kecil.
Hal menonjol lainnya adalah kepala kala yang dipahatkan diatas pintu masuk dan bilik-bilik candi. Kala, salah satu aspek Dewa Siwa dan umumnya dikenal sebagai penjaga bangunan suci. Hiasan kepala kala Candi Kidal nampak menyeramkan dengan matanya melotot, mulutnya terbuka dan nampak dua taringnya yang besar dan bengkok memberi kesan dominan. Adanya taring tersebut juga merupakan ciri khas candi corak Jawa Timuran. Di sudut kiri dan kanannya terdapat jari tangan dengan mudra (sikap) mengancam. Maka sempurnalah tugasnya sebagai penjaga bangunan suci candi.
Pemugaran
Dirunut dari usianya, Candi Kidal merupakan candi tertua dari peninggalan candi-candi periode Jawa Timur pasca Jawa Tengah (abad ke-5 – 10 M). Hal ini karena periode Mpu Sindok (abad X M), Airlangga (abad XI M) dan Kediri (abad XII M) sebelumnya tidak meninggalkan sebuah candi, kecuali Candi Belahan (Gempol) dan Jolotundo (Trawas) yang sesungguhnya bukan merupakan candi melainkan petirtaan. Sesungguhnya ada candi yang lebih tua yakni Candi Kagenengan yang menurut versi kitab Nagarakretagama tempat di-dharma-kannya, Ken Arok, ayah tiri Anusapati. Namun sayang candi ini sampai sekarang belum pernah ditemukan.
Relief Garuda
Pada bagian kaki candi terpahatkan 3 buah relief indah yang menggambarkan cerita legenda Garudeya (Garuda). Cerita ini sangat popular dikalangan masyarakat Jawa saat itu sebagai cerita moral tentang pembebasan atau ruwatan Kesusastraan Jawa kuno berbentuk kakawin tersebut, mengisahkan tentang perjalanan Garuda dalam membebaskan ibunya dari perbudakan dengan penebusan air suci amerta.
Cerita ini juga ada pada candi Jawa Timur yang lain yakni di candi Sukuh (lereng utara G. Lawu). Cerita Garuda sangat dikenal masyarakat pada waktu berkembang pesat agama Hindu aliran Waisnawa (Wisnu) terutama pada periode kerajaan Kahuripan dan Kediri. Sampai-sampai Airlangga, raja Kahuripan, setelah meninggal diujudkan sebagai dewa Wisnu pada candi Belahan dan Jolotundo, dan patung Wisnu diatas Garuda paling indah sekarang masih tersiumpan di museum Trowulan dan diduga berasal dari candi Belahan.
Narasi cerita Garudeya pada candi Kidal dipahatkan dalam 3 relief dan masing-masing terletak pada bagian tengah sisi-sisi kaki candi kecuali pintu masuk. Pembacaannya dengan cara prasawiya (berjalan berlawanan arah jarum jam) dimulai dari sisi sebelah selatan atau sisi sebelah kanan tangga masuk candi. Relief pertama menggambarkan Garuda dibawah 3 ekor ular, relief kedua melukiskan Garuda dengan kendi diatas kepalanya, dan relief ketiga Garuda menggendong seorang wanita. Di antara ketiga relief tersebut, relief kedua adalah yang paling indah dan masih utuh.
Dikisahkan bahwa Kadru dan Winata adalah 2 bersaudara istri resi Kasiapa. Kadru mempunyai anak angkat 3 ekor ular dan Winata memiliki anak angkat Garuda. Kadru yang pemalas merasa bosan dan lelah harus mengurusi 3 anak angkatnya yang nakal-nakal karena sering menghilang di antara semak-semak. Timbullah niat jahat Kadru untuk menyerahkan tugas ini kepada Winata. Diajaklah Winata bertaruh pada ekor kuda putih Uraiswara yang sering melewati rumah mereka dan yang kalah harus menurut segala perintah pemenang. Dengan tipu daya, akhirnya Kadru berhasil menjadi pemenang. Sejak saat itu Winata diperintahkan melayani segala keperluan Kadru serta mengasuh ketiga ular anaknya setiap hari. Winata selanjutnya meminta pertolongan Garuda untuk membantu tugas-tugas tersebut. (relief pertama).
Ketika Garuda tumbuh besar, dia bertanya kepada ibunya mengapa dia dan ibunya harus menjaga 3 saudara angkatnya sedangkan bibinya tidak. Setelah diceritakan tentang pertaruhan kuda Uraiswara, maka Garuda mengerti. Suatu hari ditanyakanlah kepada 3 ekor ular tersebut bagaimana caranya supaya ibunya dapat terbebas dari perbudakan ini. Dijawab oleh ular "bawakanlah aku air suci amerta yang disimpan di kahyangan serta dijaga para dewa, dan berasal dari lautan susu". Garuda menyanggupi dan segera mohon izin ibunya untuk berangkat ke kahyangan. Tentu saja para dewa tidak menyetujui keinginan Garuda sehingga terjadilah perkelahian. Namun berkat kesaktian Garuda para dewa dapat dikalahkan. Melihat kekacauan ini Bathara Wisnu turun tangan dan Garuda akhirnya dapat dikalahkan. Setelah mendengar cerita Garuda tentang tujuannya mendapatkan amerta, maka Wisnu memperbolehkan Garuda meminjam amerta untuk membebaskan ibunya dan dengan syarat Garuda juga harus mau menjadi tungganggannya. Garuda menyetujuinya. Sejak saat itu pula Garuda menjadi tunggangan Bathara Wisnu seperti nampak pada patung-patung Wisnu yang umumnya duduk diatas Garuda. Garuda turun kembali ke bumi dengan amerta. (relief kedua).
Dengan bekal air suci amerta inilah akhirnya Garuda dapat membebaskan ibunya dari perbudakan atas Kadru. Hal ini digambarkan pada relief ketiga dimana Garuda dengan gagah perkasa menggendong ibunya dan bebas dari perbudakan. (relief ketiga)
Ruwatan
Berbeda dengan candi-candi Jawa Tengah, candi Jawa Timuran berfungsi sebagai tempat pen-dharma-an (kuburan) raja, sedangkan candi-candi Jawa Tengah dibangun untuk memuliakan agama yang dianut raja beserta masyarakatnya. Seperti dijelaskan dalam kitab Negarakretagama bahwa raja Wisnuwardhana didharmakan di candi Jago, Kertanegara di candi Jawi dan Singosari, Hayam Wuruk di candi Ngetos, dsb.
Dalam filosofi Jawa asli, candi juga berfungsi sebagai tempat ruwatan raja yang telah meninggal supaya kembali suci dan dapat menitis kembali menjadi dewa. Ide ini berkaitan erat dengan konsep "Dewa-Raja" yang berkembang kuat di Jawa saat itu. Dan untuk menguatkan prinsip ruwatan tersebut sering dipahatkan relief-relief cerita moral dan legenda pada kaki candi, seperti pada candi Jago, Surowono, Tigowangi, Jawi, dan lain lain. Berkaitan dengan prinsip tersebut, dan sesuai dengan kitab Negarakretagama, maka candi Kidal merupakan tempat diruwatnya raja Anusapati dan dimuliakan sebagai Siwa. Sebuah patung Siwa yang indah dan sekarang masih tersimpan di museum Leiden - Belanda diduga kuat berasal dari candi Kidal. Sebuah pertanyaan, mengapa dipahatkan relief Garudeya? Apa hubungannya dengan Anusapati?.
Kemungkinan besar sebelum meninggal, Anusapati berpesan kepada keluarganya agar kelak candi yang didirikan untuknya supaya dibuatkan relief Garudeya. Dia sengaja berpesan demikian karena bertujuan meruwat ibunya, Kendedes, yang sangat dicintainya, namun selalu menderita selama hidupnya dan belum sepenuhnya menjadi wanita utama.
Dalam prasati Mula Malurung, dikisahkan bahwa Kendedes adalah putri Mpu Purwa dari pedepokan di daerah Kepanjen – Malang yang cantik jelita tiada tara. Kecantikan Ken Dedes begitu tersohor hingga akuwu Tunggul Ametung, terpaksa menggunakan kekerasan untuk dapat menjadikan dia sebagai istrinya prameswari. Setelah menjadi istri Tunggul Ametung, ternyata Ken Dedes juga menjadi penyebab kematian suaminya yang sekaligus ayah Anusapati karena dibunuh oleh Ken Arok, ayah tirinya.
Hal ini terjadi karena Ken Arok, yang secara tak sengaja ditaman Boboji kerajaan Tumapel melihat mengeluarkan sinar kemilau keluar dari aurat Kendedes. Setelah diberitahu oleh pendeta Lohgawe, bahwa wanita mana saja yang mengeluarkan sinar demikian adalah wanita ardanareswari, yakni wanita yang mampu melahirkan raja-raja besar di Jawa. Sesuai dengan ambisi Ken Arok maka diapun membunuh Tunggul Ametung serta memaksa kawin dengan Kendedes. Sementara itu setelah mengawini Kendedes, Ken Arok masih juga mengawini Ken Umang dan menurut cerita tutur Ken Arok lebih menyayangi istri keduanya dari pada Ken Dedes; Sehingga Ken Dedes diabaikan.
Berlandaskan uraian diatas, maka pemberian relief Garudeya pada candi Kidal oleh Anusapati bertujuan untuk meruwat ibunya Ken Dedes yang cantik jelita namun nestapa hidupnya. Anusapati sangat berbakti dan mencintai ibunya. Dia ingin ibunya menjadi suci kembali sebagai wanita sempurna lepas dari penderitaan dan nestapa.
English:
Kidal temple is one legacy of the royal temple Singasari. This temple was built as a tribute to the great services Anusapati, the second king of Singhasari, who ruled for 20 years (1227-1248). Death Anusapati killed by Bannerman Tohjaya as part of a power struggle Singhasari, also believed to be part of the curse Gandring MPU.
Kidal temple in architecture, steeped in Javanese culture Timuran, has undergone a restoration in 1990. The temple also contains a story Garudeya lefty, stories of Hindu mythology, which contains a moral message of liberation from slavery.
Location
Located in the village Rejokidal, Overlapping districts, about 20 km east of the city of Malang - East Java, Kidal temple was built in 1248 AD, coinciding with the end of a series of funeral ceremonies called Cradha (year-to-12) to salute the king Anusapati who have died. After completion of restoration back to the decade of the 1990s, this temple is now standing up straight and sturdy as well as revealing its beauty. The road to Kidal temple was good after several years of severely damaged. Around the temple there are many big trees and shady, temple gardens are also well ordered, plus the rural environment adds to the atmosphere of beautiful shades when visiting there.
From the visitors book: that there seems that Candi Kidal not as popular as "friend" of his Singosari temple, Jago, or Jawi. This is presumably because Kidal temple located deep in the countryside, not much history reviewed by experts, and rarely written in tourist guide books.
Candi Kidal Privileges
However, Kidal temple actually has some interesting advantages compared with the other temples. Kidal temple made of andesite stone and vertical geometric dimensions. Foot of the temple seem a bit high to go up the stairs into small steps as if not a real entry. Body temple is smaller than the foot area and the roof of the temple so as to give the impression of sleek. On foot and body ornaments of the temple there is a Medallion and a belt round the body adorn the temple. The roof of the temple consists of three levels of the above gets smaller with the top surface has a broad enough unadorned roof like ratna (typical of Hindu temple) or a stupa (Buddhist temple characteristic). Each level is rather broad and left room is decorated. It is said that every corner of the roof level of the first disungging with small diamonds.
Another prominent case is engraved on the head when above the entrance and the chambers of the temple. Kala, one aspect of Lord Shiva and is commonly known as the guardian of the sacred building. Headdress when Candi Kidal appear creepy with his eyes bulging, his mouth open and visible two large fangs and bent to give the impression of the dominant. Existence of fang is also a characteristic feature of Java Timuran temple. In the left corner and right there with a finger mudra (stance) threatening. Then completed the task as guardians of the temple shrine.
Restoration
Around the temple are the remains of the foundations of a wall that was gathered around the back as a result of the restoration in the 1990s. There is a staircase entrance to the temple complex in the west through the wall but it's hard to tell whether this is so original. When viewed from the perspective of the land surrounding the temple complex terrain, it seems somewhat Kidal temple complex protrudes into approximately 1 meter from the surface today. Whether the terrain of the temple is the real ground surface resulting from natural disasters like floods or volcanic eruptions can not be known with certainty.
Traced from his age, Kidal temple is the oldest temple of the heritage temples in East Java after a period of Central Java (century-5 - 10 M). This is because the period mpu Sindok (XM century), Airlangga (XI century AD) and Kadiri (XII century AD) previously did not leave a temple, except the temple Hemisphere (Gempol) and Jolotundo (Trawas) which actually is not a temple but petirtaan. Indeed there is an older temple which Kagenengan temple which, according to the book version Nagarakretagama-dharma places in it, Ken Arok, Anusapati stepfather. But unfortunately this temple until now has never been found.
Garuda Relief
At the foot of the temple terpahatkan 3 pieces of beautiful reliefs depicting the legend Garudeya (Garuda). This story is very popular among the Java community at the time as a moral story about liberation or Ruwatan kakawin shaped ancient Javanese literature, the story about the journey of Garuda in freeing his mother from slavery to redemption holy water Amrita.
This story also exist in other temples of East Java Sukuh ie, in the temple (G. Lawu northern slope). The story of Garuda is known to the public at the time of the rapidly growing stream of Hindu Vaishnava (Vishnu), especially in the period of royal Kahuripan and Kadiri. To the extent Airlangga Kahuripan king, after the death embodies the god Vishnu in the temple and Jolotundo Hemisphere, and a statue of Vishnu on Garuda is still the most beautiful in the museum tersiumpan Trowulan and probably derived from the temple Hemisphere.
Narrative stories Garudeya in Kidal temple reliefs carved in the third and each lies in the middle of the sides except the base of the temple entrance. The reading is a way prasawiya (running counter clockwise) starts from the south side or right side of entrance stairs of the temple. The first reliefs depict Garuda below 3 snakes, a second relief pitcher depicts Garuda above his head, and third reliefs of Garuda carrying a woman. Among the three reliefs, reliefs second is the most beautiful and still intact.
It is said that Kadru and Winata are two brothers wife Kasiapa receipt. Kadru have three adopted children and Winata snakes have adopted children Garuda. Kadru that lazy feeling bored and tired of having to take care of three foster children are naughty because often disappeared among the bushes. There arose a malicious intent to submit this task Kadru to Winata. Winata invite two white horses to bet on Uraiswara who often pass their house and the loser should be the winner in all the commandments. With guile, finally Kadru managed to become the winner. Since then Winata was ordered to serve all purposes Kadru snakes and nurturing three children every day. Winata Garuda then asks for help to assist with these tasks. (First relief).
When Garuda grew up, she asked her mother why she and her mother must keep three foster-brothers while her aunt is not. Once told about horse betting Uraiswara, Garuda understand. One day ditanyakanlah to 3 snakes is how so her mother could be free from this slavery. Answered by a snake "Get me the holy water Amrita stored in heaven, and guarded the gods, and come from the ocean of milk". Garuda agreed and immediately asked her permission to go to heaven. Of course the gods do not settle Garuda so a fight broke out. But thanks to the miracle of the gods can be defeated Garuda. Looking at this mess Bathara Garuda Vishnu intervened and eventually be defeated. After hearing stories about the purpose of Garuda obtain Amrita, then borrow Amrita Vishnu Garuda allow to free his mother and Garuda condition must also be tungganggannya. Garuda agreed. Since then also have to ride Bathara Garuda Vishnu as apparent in the Vishnu statues are generally seated on Garuda. Garuda fell back to earth with Amrita. (Second relief).
Armed with holy water Amrita Garuda is finally able to free his mother from the slavery of Kadru. This is depicted in the reliefs of the third where Garuda with his mother holding a gallant and free from slavery. (Third relief)
Ruwatan
Unlike the temples in Central Java, Java Timuran temple serves as a pen-dharma's (grave) the king, while the Central Javanese temples built to glorify the king's religion and its people. As described in the book that king Wisnuwardhana Negarakretagama didharmakan in Jago temple, temple Kertanegara in Jawi and Singosari, Hayam Wuruk in Ngetos temples, etc..
In the original Java philosophy, the temple also serves as a place Ruwatan king who had died in order to return the sacred and can be a god incarnate again. This idea is closely related to the concept of "god-king" strongly developed in Java at the time. And to strengthen the principle ruwatan often carved reliefs of moral stories and legends at the foot of the temple, as in temple Jago, Surowono, Tigowangi, Jawi, and others. Associated with these principles, and according to the book Negarakretagama, then the Left temple is a place diruwatnya king Anusapati and glorified as Siva. A beautiful statue of Shiva and is now preserved in the museums of Leiden - Holland allegedly came from Kidal temple. A question, why was sculpted reliefs Garudeya? What to do with Anusapati?.
Most likely before he died, Anusapati later told his family that founded the temple reliefs made him so Garudeya. He deliberately aimed meruwat told that because his mother, Kendedes, whom she loved, but always suffered during his lifetime and has not fully become the primary female.
In prasati At Malurung, narrated that the MPU Purwa Kendedes was the daughter of pedepokan in Kepanjen - Malang beautiful incomparable. Beauty Ken Dedes was so famous until akuwu Ametung stumps, were forced to use violence in order to make him as his wife Prameswari. After becoming a wife stumps Ametung, Ken Dedes was also the cause of the death of her husband and father Anusapati murdered by Ken Arok, his stepfather.
This happens because of Ken Arok, who was accidentally Boboji royal garden Tumapel see the light shining out of the issue Kendedes genitalia. After being told by the priest Lohgawe, that any woman who issued such rays is ardanareswari women, ie women who could produce big kings in Java. In accordance with the ambition of Ken Arok killed stumps then he too Ametung and forced to marry Kendedes. Meanwhile, after marrying Kendedes, Ken Arok was also married to Ken Umang and according to the story of Ken Arok said more fond of his second wife of the Ken Dedes; So Ken Dedes ignored.
Based on the description above, then the provision of relief Garudeya in Kidal temple by his mother meruwat Anusapati aims to Ken Dedes is beautiful but the sorrow of his life. Anusapati very devoted and loving mother. She wanted her mother to become pure again as the perfect woman escape from suffering and sorrow.
